Thursday, January 21, 2010

MITOS SAFAR DI MASYARAKAT SUNDA

MITOS SAFAR DI MASYARAKAT SUNDA
Oleh : Uwes Fatoni

Safar adalah salah satu bulan Islam dalam pengucapan lidah orang Sunda. Asal kata Safar dari Shafar, yang memiliki makna “kosong.” Dalam tradisi Arab pra-Islam bulan Safar merupakan bulan peperangan. Masyarakat Arab pada bulan ini tidak banyak beraktivitas dan berdagang karena terganggu peperangan yang berkecamuk antar kabilah. Dari peristiwa itu muncul beragam mitos negatif di seputar bulan Safar.

Seiring dengan masuknya Islam ke tatar Sunda, mitos-mitos itu pun ikut meresap dalam pemikiran masyarakat. Orang Sunda menganggap pamali untuk mengadakan pesta perayaan, seperti hajat pernikahan atau sunatan anak di bulan Safar. Selain itu juga mereka percaya akan turun berbagai penyakit dan musibah di bulan ini dan sebagai puncaknya terjadi pada hari Rebo wekasan.


Paceklik Order
Berbeda dengan bulan Rayagung yang ramai dengan acara hajatan terutama di akhir pekan, di bulan Safar janur kuning tidak lagi terlihat menghiasi gang dan gedung-gedung serbaguna. Masyarakat Sunda enggan untuk melangsungkan pesta perayaan di bulan ini.

Menurut Ahmad Gibson Al-Busthomi, seorang seniman Sunda, dalam sebuah diskusi beberapa waktu yang lalu menyatakan bahwa dalam masyarakat Sunda tidak dikenal sistem perhitungan hari baik (astrologi) seperti masyarakat Jawa. Namun, mitos larangan menikah di bulan ini ternyata sangat kuat tertancap dalam benak masyarakat. Sekalipun orang Sunda saat ini sudah jauh lebih modern, tapi tetap saja mereka merasa cadu untuk mengadakan pesta di bulan ini. Mereka meyakini ikatan pernikahan yang dilakukan di bulan Safar tidak akan abadi, dan ke depannya akan sulit untuk mendapatkan keturunan.


Hal ini kemudian diperkuat dengan pandangan bahwa bulan Safar adalah bulan kawin anjing. Di beberapa wewengkon tatar Sunda, terutama daerah yang dekat dengan hutan dan masih terdapat anjing liar, pada bulan ini sering terdengar gonggongan dan lolongan anjing. Anjing-anjing tersebut sedang naik birahi dan melakukan perkawinan. Oleh karena itu orang Sunda cadu menikah di bulan ini karena mereka tidak mau disamakan dengan binatang yang dianggap najis tersebut.


Kondisi tersebut tentu saja membawa pengaruh ekonomis kepada orang-orang yang bergelut di bisnis pesta hajatan. Para pengusaha perencana pernikahan, seniman, termasuk mubaligh mengalami paceklik order, tidak ada yang mengundang. Mereka akhirnya “berpuasa” untuk manggung, bahkan beberapa diantaranya wayahna harus banting setir pindah pekerjaan di bidang lain untuk sementara waktu.


Keadaan paceklik order ini baru berakhir tatkala bulan mulud tiba. Dalam sebuah peribahasa Sunda disebutkan, kokoro manggih mulud, orang yang sedang sengsara kemudian mendapat rezeki yang besar seperti bulan mulud. Para pekerja di bisnis hajatan yang di bulan safar dalam kondisi tiiseun, memasuki bulan mulud mereka kembali marema.


Bulan Balae
Bulan Safar juga diyakini sebagai bulan balae (bala bencana). Keyakinan ini sudah terpatri dengan kuat dalam benak masyarakat Sunda. Di bulan ini turun 70.000 penyakit untuk satu tahun ke depan. Berbagai musibah dan bencana juga banyak muncul di bulan ini. Lihat saja berbagai bencana yang saat ini terus melanda beberapa daerah di Indonesia, menurut beberapa kalangan Sunda tradisional itu merupakan pertanda akan kebenaran mitos tersebut.

Mitos bulan bencana ini juga diperkuat dengan cerita tentang sejarah kehancuran masyarakat tempo dulu. Sejak zaman dahulu bencana senantiasa diturunkan di bulan Safar. Tuhan telah menghukum kaum yang tidak beriman seperti Kaum ‘Ad dan Tsamud pada bulan ini.


Namun puncak dari semua masa turunnya bencana terjadi pada hari Rebo wekasan yaitu hari Rabu terakhir di bulan Safar. Oleh karenanya untuk melindungi diri dan keluarga dari berbagai balae tersebut masyarakat Sunda melakukan sedekah dan ritual tolak bala. Dengan bersedekah kepada fakir miskin mereka meyakini bala bencana akan menjauh dan mereka terbebas darinya.


Sedangkan ritual tolak bala dilangsungkan dengan cara memanjatkan doa dan mandi di pantai, sungai atau tempat-tempat keramat tertentu untuk membuang sial. Di Cirebon ritual mandi Safar ini dikenal dengan ngirab. Sekalipun ritual mandi ini sudah terkikis zaman dan semakin jarang dilakukan masyarakat tapi ritual memanjatkan doa penolak bala di malam Rebo wekasan masih tetap dijaga dan diamalkan.


Antara Mitos dan Local Wisdom
Sebagian masyarakat Sunda menganggap keyakinan di seputar bulan Safar semata-mata adalah mitos yang tidak terbukti kebenarannya. Namun, bagi kalangan lain keyakinan tersebut dipandang memiliki benang merah dengan kearifan lokal (local wisdom).
Larangan untuk melakukan aktivitas hajatan di bulan Safar memang tepat karena di bulan ini kondisi cuaca seringkali tidak bersahabat. Larangan ini juga bisa diposisikan sebagai penumbuh kesadaran tentang keseimbangan hidup. Masyarakat diajarkan ada waktunya untuk bersukacita, bergembira dan berpesta serta adakalanya pula mereka harus beristirahat dan bersiap-siap menghadapi cobaan, derita dan dukacita. Dengan begitu akan tumbuh kesadaran hidup yang lebih hakiki.

Tolak bala dengan banyak memberi sedekah mengandung makna solidaritas sosial, paheuyeuk-heuyeuk leungeun atau saling membantu dan saling menolong. Tatkala di bulan ini tidak ada pesta hajatan, orang-orang miskin yang biasa membantu menjadi kehilangan sumber rezeki. Dengan sedekah mereka kembali mendapatkan topangan hidup.


Pemahaman terhadap mitos di atas merupakan bagian dari upaya menyelami khazanah kekayaan budaya Sunda. Dengan pemahaman yang komprehensif akan tergali keselarasan hidup dan kesadaran otentik orang Sunda akan alam dan lingkungannya.

No comments:

Post a Comment