Thursday, January 21, 2010

“Hidup”, Bersyukurlah!

“Hidup”, Bersyukurlah!
Oleh: Ust. Heru Pudji Hartanto


“Mengapa hidup ini bukan pilihan?”

“Memangnya kenapa dengan hidup ini?”

“Bila seandainya hidup ini adalah sebuah pilihan, tentu saya lebih memilih untuk tidak pernah hidup!”

“Ada apa dengan hidup Ibu?”

“Hidup saya hampir sepenuhnya berisi duka dan derita.”

Demikian sekilas tanya jawab yang pernah terjadi di serambi rumah saya, suatu malam—ketika mendadak hadir sesosok tamu spiritual. Seorang ibu, lengkap dengan wajahnya yang kusam dan terlihat guratan kelesuhan hidup di dahinya. Hingga kami pun saling bertanya, berdiskusi dan mencoba mencari jawaban atas “pengadilan” dengan satu-satunya terdakwa yang hadir saat itu, yaitu “HIDUP”.

Dalam sebuah forum “Spiritual Quality Development Training”, muncul sebuah pertanyaan menarik yang seringkali diajukan pada sesi-sesi awal pelatihan, yaitu “Bila saja Allah berkenan memberi Anda kesempatan hidup di dunia ini untuk kedua kalinya, kiranya kehidupan seperti apa yang Anda inginkan dalam kesempatan hidup tersebut?”

Ternyata ada sedikit orang yang memberikan jawaban dengan mengatakan, “Cukup bagi saya sekali saja hidup dalam kehidupan dunia ini, namun jika Allah berkenan memberi kehidupan di dunia untuk kedua kalinya, saya berharap kehidupan saya nantinya tak jauh berbeda dengan kehidupan saya saat ini”.

Terlihat secara jelas, betapa berbahagianya kehidupan orang-orang semacam ini. Kalaupun ada kehidupan dunia yang kedua kali, ia ingin kehidupannya berulang kembali.

Adapun yang terbanyak adalah mereka yang memberikan jawaban, “Bila saja ada kesempatan hidup yang kedua kalinya di dunia, tentunya kesempatan hidup yang berbeda daripada keadaan hidup kita saat ini! Sebuah kehidupan yang jauh lebih berbahagia, menyenangkan dan menggembirakan.”

Bila demikian halnya jawaban yang kita berikan, “Memangnya ada apa dengan kehidupan kita yang sekarang?”

Jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut, sedikit banyak menunjukan tingkat kebahagiaan seseorang dalam menjalani hidup, atau paling-tidak pandangan seseorang tentang kualitas kehidupannya sendiri.
Sangkaan akan dapatnya memilih adanya kehidupan yang lebih baik di kehidupan berikutnya, disertai bercampur aduknya dengan rasa kebencian terhadap seluruh sisi kehidupan yang saat ini dijalani oleh seseorang, seringkali telah dengan mudah menghantarkan seseorang melakukan apa yang dikenal dengan tindakan Bunuh Diri.

Kegagalan memaknai, memahami tujuan disertaai kebencian terhadap hidup, telah menjadikan banyak generasi muda di kota-kota besar, negara-negara maju dan orang-orang yang mapan secara intelektual, beramai-ramai melakukan bunuh diri secara massal. Adapun mereka yang tinggal di pelosok desa, negara miskin dan berpikir sederhana, justru memiliki tingkat ketahanan hidup yang cukup tinggi.

Sebab itulah, selain kebisuan, jawaban yang bisa saya berikan malam itu adalah, “Memang hidup ini bukan pilihan kita, Namun hidup ini adalah anugerah sekaligus amanah, karena hidup ini pilihan Tuhan. Tentu Dia tak akan sembarangan memberikan amanah tersebut kepada mereka yang tak layak menerimanya. Bukankah Langit dan Bumi pernah menolaknya? Maha Berkah Dia yang telah memilih kita untuk “Ada” dari semesta ketiadaan yang gelap tiada berpangkal. Bersyukur adalah isi dari ujung dan pangkal “Ada”nya hidup ini.”
“Alhamdulillah, ternyata memang benar, walaupun hidup ini bukan pilihan kita, namun kita tak lagi perlu khawatir, karena hidup ini merupakan pilihan Sang ahlinya. Terima kasih, sekarang saya tak perlu khawatir lagi menjalani sisa hidup pilihan ahli-Nya,” jawab ibu tersebut sambil meminta izin pulang, karena teringat anaknya yang terbiasa terbangun dari tidurnya pukul 3 dini hari.

Menjadi Ada, penting untuk disyukuri, untuk menemukan syukur dalam HIDUP.
Menjadi Manusia? bersyukurlah
Menjadi Muslim? bersyukurlah
Menjadi Mukmin? Bersyukurlah
Menjadi Muhsin? bersyukurlah
Menjadi abid? bersyukurlah

Salaamun hiyaa mat’la’il fajr….Wallahu a’lam bishawwab

sumber : H. Pudji H.

No comments:

Post a Comment